Jumat, 11 November 2022

BBM BERSUBSIDI PILIHAN TEPAT UNTUK RAKYAT KECIL



Zaman sekarang hampir semua orang sekarang mempunyai kendaraan motor atau mobil, bukan cuma untuk gaya-gayaan saja biar dibilang keren atau mampu, tapi kendaraan bermotor atau mobil sekarang juga sudah jadi alat untuk mencari mata pencarian sebagai alat transportasi online.  
Orang sekarang juga semakin malas, semenjak punya motor jarak 1 km saja mesti naik motor,  padahal harga bensin sekarang sudah naik, kalau jalan kaki kan bisa irit dan sehat.  Apalagi semenjak ada transportasi online kendaraan pribadi begitu banyak membuat jalanan semakin macet dan polusi udara semakin banyak.

Untuk menekan alokasi BBM subsidi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hingga saat ini masih terus melakukan berbagai upaya  seperti mengoptimalkan transportasi umum, dengan menyediakan layanan transportasi hingga depan rumah, pembangunan trotoar serta layanan integrasi antar moda tranportasi dari mulai  angkutan umum maupun moda angkutan transportasi umum lainnya. Atas upaya yang telah dilakukan, Pemrov DKI Jakarta juga mengklaim bahwa sudah berhasil menekan  penggunaan BBM subsidi. 

Sebenarnya apa sih perbedaan BBM subsidi dengan non subsidi adalah :

- BBM subsidi merupakan bahan bakar minyak yang di bantu pemerintah melalui.Anggaran Pemdapatan Belanja Negara. Karena itu pemerintah terlibat langsung dalam menentukan harga BBM dan menjamin ketersediaannya di pasar domestik. Contohnya pertalite, bio solar yang harganya lebih murah dari harga pasar dan digunakan hanya kalangan tertentu saja

- BBM non subsidi adalah BBM yang diperjualbelikan tanpa campur tangan pemerintah  dalam menetapkan harganya contohnya Pertamax, Pertamina Dex, Dexlite, Pelumas Fastron, Pertamax Turbo

Di beberapa pom bensin juga masih terlihat banyak kendaraan roda empat yang masih membeļi bensin bersubsidi. Betul sekali ucapan Presiden Jokowi  beberapa hari yang lalu kalo lebih dari 70% subsidi justru di nikmati oleh kelompok masyarahat yang mampu yaitu pemiliÄ· mobil pribadi. Karena itu beberapa jenis BBM  yang selama ini mendapatkan subsidi akan mengalami penyesuaian harga pertalite dari harga Rp7.650/liter menjadi Rp10.000/liter, solar dari Rp5.150/liter menjadi Rp6.800/liter dan pertamax  dari Rp12.500/liter menjadi Rp14.500/liter. 

Karena  itu pada hari selasa kemarin tanggal 8 November 2022  YLKI (Yayasan Konsumen Indonesia) mengadakan diskusi publik bertajuk Pengendalian BBM Bersubsidi Tepat Sasaran di DKI Jakarta, yang dihadiri oleh multi stake holders, mulai akademisi, pengamat, pemerintah, BPH Migas, kalangan milenial, jurnalis, dll. Diskusi tersebut disiarkan scr live via KBR dan direlay oleh ratusan radio jaringan di daerah. 
Dalam diskusi tersebut dapat di simpulkan beberapa catatan yaitu :

1. Masyarakat sering salah kaprah, dengan membeli BBM yg lebih murah, tapi penghematannya tidak signifikan. Sedangkan dampaknya justru bisa lebih besar. Jadi masyarakat sebenarnya merugi, karena harus mengeluarkan biaya maintenance yang lebih tinggi

2. Namun, di sisi lain ada fenomena kesadaran di kalangan generasi muda, bahwa BBM bersubsidi akan merusak mesin, mesin jebol sehingga mereka lebih memilih menggunakan bbm yg lebih bagus, seperti pertamaks. 

3. Pemerintah di dorong lebih konsisten dalam kebijakannya, misalnya dalam migrasi ke BBG. Penggunaan BBG itu bagus, ORGANDA mendukung, tapi pemerintah sendiri tidak konsisten. Sehingga jangan sampai diplesetkan bahwa BBG adalah : bolak balik gagal. BBG memang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan;

4. BBM bersubsidi punya dua dimensi, adil secara ekonomi dan adil secara ekologis. Jika merujuk pad UU ttg Energi, maka subsidi energi peruntukannya adalah utk masyarakat tidak mampu. Jadi jika BBM bersubaidi mayoritas digunakan oleh pemilik kendaraan bermotor, maka ini bentuk ketidakadilan dari sisi ekonomi. Dari sisi ekologis, bbm bersubsidi adalah bentuk ketidakadilan ekologis, sebab yang berhak atas subsidi energi adalah energi baru terbarukan, bukan energi fosil seperti BBM, apalagi BBM dengan kadar oktan yang rendah;

5. Agar pemerintah mengembangkan transportasi umum yang baik, nyaman, murah, sehingga ketika terjadi migrasi dari pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum masal, akan menekan tingkat polusi di kota kota besar, khususnya Jakarta;

6. Harus ada kebijakan berupa insentif dan disinsentif bagi warga. Sebagai contoh, bagi kendaraan yang tidak lulus uji emisi, maka bisa dikenakan tarif parkir progresif dan lebih mahal. Hal ini sudah mulai diujicobakan di Jakarta. Daerah lain bisa menerapkan hal yang sama. 

7. Upaya pemerintah untuk mempromosikan kendaraan listrik, belum cukup efektif untuk mengurangi polusi di Jakarta, tersebab jumlahnya masih minimalis, dibanding jumlah kendaraan bermotor yang berbasis bensin. Oleh karena itu, yang mendesak untuk mengurangi polusi di Jakarta adalah migrasi ke angkutan umum, dan mengganti /menggunakan bahan bakar yang berkualitas baik dan ramah lingkungan.

Dari kesimpulan tersebut mungkin kita bisa berfikir apakah masih mau menggunakan BBB bersubsidi atau tidak, padahal kita mampu membeli yang non subsidi, atau  sekarang saatnya kita beralih menggunakan angkutan umum sekaligus mengurangi polusi udara.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar